Dimana posisi tangan apabila berdiri setelah ruku' di dalam sholat ?

on Rabu, 21 September 2011


Bersedekap kembali setelah bangkit dari ruku' adalah suatu hal yang mungkin sedikit terasa janggal dilakukan oleh kita yang sudah terbiasa meluruskan tangan atau menjulurkan tangan ke bawah setelah bangkit dari ruku'. Apalagi kebiasaan tersebut mungkin sudah puluhan tahun kita lakukan karena melihat kepada orang-orang disekitar kita yang telah melakukan hal yang sama. Namun, bagaimana sih sebenarnya dalil bagi mereka yang meluruskan dan bagi mereka yang bersedekap kembali ? Setelah diteliti, sebenarnya mereka yang bersedekap kembali memiliki dalil yang kuat, sedangkan yang meluruskan tangan tidak ada sebuah dalilpun yang mendukung perbuatan tersebut. Silahkan dibaca pembahasan di bawah ini beserta gambarnya.




















--------------------------------------------------------------

Bismillahirrahmanirrahim


أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ مُوسَى بْنِ عُمَيْرٍ الْعَنْبَرِيِّ وَقَيْسِ بْنِ سُلَيْمٍ الْعَنْبَرِيِّ قَالَا حَدَّثَنَا عَلْقَمَةُ بْنُ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

"Aku melihat rasulullah apabila berdiri di dalam sholat menggenggam tangan kanannya pada tangan kirinya"(HR. An-Nasa'i, Kitab "al Iftitaah", bab "Wadh'ul Yumnaa 'Alasy Syimaal fish Shalaah no. 877. dan sanadnya dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih Sunanin Nasai (I/193)

حَدَثنََاعَبْدُ الله بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ
كَانَ النَّاسُ يُؤْ مَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ اليَدَ اليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اليُسْرَى فِى الصَّلاَةِ

"Orang-orang diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya di dalam shalat".( HR. Bukhari, dalam Bab Meletakkan Tangan Kanan di atas Tangan Kiri. Juz I Hal. 180)

Ada 3 kata kunci yang terkandung di dalam hadits di atas;
1. Tangan (bagaimana posisi tangan di dalam sholat?, silahkan di lihat gambar-gambar di atas)
2. Apabila berdiri (di dalam sholat) artinya apabila hanya pada posisi berdiri
3. Di dalam sholat ( pengertiannya tentunya bukan di luar sholat)

Berdiri yang dimaksud dalam hadits di atas (HR. Nasa'i) adalah, berdasarkan keumuman pada arti kondisi berdiri di dalam shalat. Posisi berdiri di dalam shalat ada 3 tempat ;

1. Posisi berdiri setelah takbiratul ihram ( posisi awal ),
2. Posisi berdiri i'tidal setelah ruku' ( kembali ke posisi awal ),
3. Posisi berdiri setelah bangkit dari sujud ( kembali ke posisi awal )

Menggenggam tangan kanannya pada tangan kirinya, maksudnya adalah bersedekap. Meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya (HR. Bukhari), tidak ada tempat lain di dalam shalat kecuali pada posisi berdiri di dalam shalat.

Adapun posisi berdiri dan melepaskan tangan lurus ke bawah sebelum takbiratul ihram adalah posisi dimana ibadah sholat belum dimulai. Sholat baru dimulai ketika sudah melakukan takbiratul ihram. Shalat dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ketika sudah takbiratul ihram, maka sesuai dengan keterangan hadits adalah meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri (bersedekap).

Perhatikan gambar-gambar di atas. Posisi tangan sangat jelas ketika di dalam sholat.

1. Setelah takbiratul ikhram posisi bersedekap.
2. Ketika ruku' posisi tangan di atas lutut.
3. Ketika sujud posisi tangan di atas lantai atau tanah.
4. Ketika duduk posisi tangan di atas paha atau lutut.

Sampai saat ini saya belum menemukan keterangan hadits yang memerintahkan agar meluruskan atau menjuntaikan tangan lurus ke bawah. Saya hanya menemukan keterangan hadits yang memerintahkan agar meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) ketika berdiri di dalam sholat, sebagaimana hadist di atas. Mungkin di antara pembaca sudah ada yang menemukan hadits yang memerintahkan agar menjuntaikan tangan ketika bangkit dari ruku'. Silahkan di share ilmunya.

Untuk sementara ini saya menemukan bahwa mazhab Syafi'iyah yang agak lebih konsen dalam memperhatikan hal ini, sebagaiman termaktub dalam buku-buku fiqh mereka.

Yang afdhal bagi imam atau makmum atau orang yang shalat sendirian adalah meletakkan tangan kanan mereka masing-masing di atas tangan kiri di atas dadanya setelah berdiri dari ruku'. (Ensiklopedi Shalat, Menurut al Qur'an dan Sunnah. Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al Qahthani, Pustaka Imam Asy-Syafi'i. hal. 269 dan 291)






"Kembali bersedekap waktu bangun dari ruku' setelah mengangkat tangan lebih utama daripada melepaskan tangan lurus kebawah lalu baru mulai bersedekap lagi." (Kitab "Fathul Muin" jilid 1 [Mazhab Syafi'i] terjemahan hal. 119)







ثم الاعتدال الواجب ان يعود بعد ركوعه الي الهيئة التى كان عليها قبل ا لركوع سواء صلاها قائما او قاعدا
"Kemudian I'tidal yang wajib ialah setelah melakukan ruku' sampai kembali ke posisi sikap sebelum ruku'. (Kitab "Kifayatul Ahyar" [Mazbab Syafi'i] terjemahan hal. 131). Penerbit AL-RIDHA Semarang. Atau silahkan dilihat pada halaman. 241 pada buku Kifayatul Ahkhyar (Kelengkapan Orang Shalih). Bagian Pertama. Penerbit "Bina Iman" Surabaya.
*Posisi sikap sebelum ruku' = tangan bersedekap, bukan meluruskannya atau menjuntaikannya ke bawah



-------------------------------------------------

I'tidal tidak hanya dilakukan pada posisi dalam keadaan berdiri setelah ruku'. Ini adalah keterangan beberapa hadits tentang i'tidal pada waktu ruku' dan sujud.


Di dalam Hadits Riwayat Bukhari.

باب لاَ يَفْتَرِشُ ذِرَاعَيْهِ فِى السُّجُودِ


822 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « اعْتَدِلُوا فِى السُّجُودِ، وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
*) I'tidal di dalam sujud

Di dalam Hadits Riwayat Muslim.


- باب الاِعْتِدَالِ فِى السُّجُودِ وَوَضْعِ الْكَفَّيْنِ عَلَى الأَرْضِ وَرَفْعِ الْمِرْفَقَيْنِ عَنِ الْجَنْبَيْنِ وَرَفْعِ الْبَطْنِ عَنِ الْفَخِذَيْنِ فِى السُّجُودِ. (45)
- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اعْتَدِلُوا فِى السُّجُودِ وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ ».
46 - باب ما يجمع صفة الصلاة وما يفتتح به ويختم به وصفة الركوع والاعتدال منه والسجود والاعتدال منه والتشهد بعد كل ركعتين من الرباعية وصفة الجلوس بين السجدتين وفي التشهد الأول
233 - ( 493 ) حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا وكيع عن شعبة عن قتادة عن أنس قال
: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم اعتدلوا في السجود ولا يبسط أحدكم ذراعيه انبساط الكلب
[ ش ( ولا يبسط انبساط ) قال النووي هذان اللفظان صحيحان وتقديره ولا يبسط ذراعيه فينبسط انبساط الكلب وكذا اللفظ الآخر ولا يتبسط ذراعيه انبساط الكلب ومثله قول الله تعالى والله أنبتكم من الأرض نباتا وقوله فتقبلها ربها بقبول حسن وأنبتها نباتا حسنا ومعنى يتبسط يتخذهما بساطا ]
*) I'tidal di dalam sujud

( 471 ) وحدثنا حامد بن عمر البكراوي وأبو كامل فضيل بن حسين الجحدري كلاهما عن أبي عوانة قال حامد حدثنا أبو عوانة عن هلال بن أبي حميد عن عبدالرحمن بن أبي ليلى عن البراء بن عازب قال
: رمقت الصلاة مع محمد صلى الله عليه و سلم فوجدت قيامه فركعته فاعتداله بعد ركوعه فسجدته فجلسته بين السجدتين فسجدته فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريبا من السواء
[ ش ( رمقت ) أي أطلت النظر إليها ( قريبا من السواء ) أي من التساوي والتماثل وانتصابه على أنه مفعول ثان لوجدت ومعناه كان أفعال صلاته كلها متقاربة وليس المراد أنه كان يركع بقدر قيامه وكذا السجود والقومة والجلسة بل المراد أن صلاته كانت
معتدلة فكان إذا أطال القراءة أطال بقية الأركان وإذا خففها خفف بقية الأركان ]

Dalam hadits riwayat Tirmidzi No. 1039.

1039- أخبرنا محمد بن بشار قال حدثنا يحيى قال حدثنا عبد الحميد بن جعفر قال حدثني محمد بن عمرو بن عطاء عن أبي حميد الساعدي قال : كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا ركع اعتدل فلم ينصب رأسه ولم يقنعه ووضع يديه على ركبتيه
قال الشيخ الألباني : صحيح
*) I'tidal di dalam ruku'

Dalam hadits riwayat An- Nasa'i No. 1028.

1028- أخبرنا سويد بن نصر قال أنبأنا عبد الله بن المبارك عن سعيد بن أبي عروبة وحماد بن سلمة عن قتادة عن أنس عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : اعتدلوا في الركوع والسجود ولا يبسط أحدكم ذراعيه كالكلب
قال الشيخ الألباني : صحيح
*) I'tidal di dalam ruku' dan dalam sujud

--------------------------
-------------------------

KRITIK TERHADAP PENDAPAT SYAIKH NASHIRUDDIN AL - ALBANI MENGENAI BID'AHNYA BERSEDEKAP SETELAH BANGKIT DARI RUKU'

Pernyataan beliau :

1. Adapun sebagian ulama Hijaz dan lain-lain yang menjadikan Hadits ini sebagai alasan bersedekap ketika berdiri I'tidal adalah hal yang sangat menyimpang.

2. Sungguh ini adalah penetapan hukum yang keliru sebab bersedekap semacam itu sama sekali tidak disebutkan oleh hadits manapun ketika menyebutkan berdiri pertama.

3. Saya tidak ragu lagi menyatakan bahwa bersedekap ketika berdiri I'tidal adalah perbuatan bid'ah yang sesat.

Tanggapan :

1. Beliau (Albani) keliru, dan menyebutkan bahwa ulama Hijaz bersandar pada hadits:

وكان يأمر بالاطمئنان فيه فقال ل ( المسيء صلاته ) :
( البخاري ومسلم ) ( ثم ارفع رأسك حتى تعتدل قائما [ فيأخذ كل عظم مأخذه ] ( وفي رواية : ( وإذا رفعت فأقم صلبك وارفع رأسك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها )

Beliau memerintahkan agar tuma'ninah ketika I'tidal. Beliau bersabda kepada sahabat yang keliru dalam shalatnya, "Lalu angkatlah kepalamu hingga engkau berdiri tegak lurus [dan masing-masing ruas tulang menempati tempatnya]."

Padahal ulama Hijaz tidak bersandar pada hadits itu, tapi bersandar pada hadits :

1- رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ
قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
a."Aku melihat rasulullah apabila berdiri di dalam sholat menggenggam tangan kanannya pada tangan kirinya"

كَانَ النَّاسُ يُؤْ مَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ اليَدَ اليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اليُسْرَى فِى الصَّلاَةِ -
b."Orang-orang diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya di dalam shalat".


2. Beliau menafikan dua hadits di atas, dengan mengatakan : "bersedekap semacam itu sama sekali tidak disebutkan oleh hadits manapun ketika menyebutkan berdiri pertama". Sedangkan kita ketahui dengan jelas bahwa kedua hadits di atas adalah penjelasan adanya perintah bersedekap apabila berdiri di dalam shalat. Sedangkan beliau sendiri (Syaikh Albani) mengatakan: "Bahwa dengan meletakkan tangan kanan pada bagian punggung tangan kiri, pada pergelangan dan lengan kiri dengan sendirinya akan meletakkan kedua tangan anda pada bagian dada atau dekat dengan dada. Jadi kesimpulannya, meletakkan tangan kanan pada tangan kiri sebagai amalan yang sunnah bukan dengan membiarkan kedua tangan menjulur tergantung, juga tempat yang sunnah untuk meletakkan kedua tangan tersebut adalah pada bagian dada bukan pada bagian yang lainnya." (silahkan baca buku beliau pada catatan kaki dalam Bab Meletakkan Kedua Tangan (Bersedekap) di atas dada, dan untuk hadits-hadits tentang bersedekap silahkan melihat lampiran)


3. Saya mengutip penjelasan dari Syaikh bin Baz dalam buku beliau "Tiga Risalah Shalat" hal. 51 Penerbit Al Qolam, beliau mengatakan: Keyakinannya (Syaikh Albani; maksudnya) bahwa "Saya tidak ragu lagi menyatakan bahwa bersedekap ketika berdiri I'tidal adalah perbuatan bid'ah yang sesat", adalah keliru. Tidak seorangpun di antara para ahli ilmu yang berkeyakinan seperti itu, sejauh yang kami ketahui. Keyakinan itu juga bertentangan dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di muka. Saya bukan meragukan keilmuannya, kelebihannya, keluasan bacaannya, dan perhatiannya terhadap sunnah, semoga Allah menambahkan ilmu dan taufiq kepadanya, tetapi ia telah keliru dalam masalah ini. Kekeliruannya jelas sekali. Sedangkan semua ulama itu bisa diambil atau ditinggalkan pendapatnya. Sebagaimana perkataan Imam Malik bin Anas : "Tidak ada seorangpun di antara kita kecuali bisa menolak dan ditolak, kecuali penghuni kuburan ini (maksudnya adalah Nabi)."Demikian pula perkataan para ulama sebelum dan sesudah beliau. Ini bukan berarti mengurangi penghormatan kepada mereka atau menjatuhkan kedudukan mereka. Sebaliknya, mereka dalam hal ini mendapatkan satu pahala atau dua pahala sebagaimana disebutkan dalam sunnah yang sahih : "Bila ijtihadnya benar; maka ia memperoleh dua pahala. Apabila keliru, maka ia memperoleh satu pahala.


http://fakta-faktual.blogspot.com/2011/09/dimana-posisi-tangan-apabila-berdiri.html

Shalat Hadiah ( Salah Kaprah )

Shalat Hadiah ( Salah Kaprah )

Mengucapkan Ushally Sunnatan Hadiyatan pada SHALAT HADIAH Tidak Mengena Sasaran dan Tidak Diperkenankan.

Kedengarannya aneh, kok ada "shalat hadiah". Yang ada, ya shalat lima waktu, atau shalat-shalat sunnah seperti Dhuha, Tasbih, Witir, Hajat, Tahajjud, dan Istikharah. Istilah "shalat hadiah" ini dicari di kitab manapun tidak akan ditemui. Jadi, jika orang berniat : Ushally sunnatan hadiyatan, ini jelas tidak mengena sasaran dan tidak diperkenankan. Sebab yang dimaksud adalah shalat yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit yang telah meninggal. Niatnya adalah melakukan shalat sunnah muthlak, yakni: Ushally sunnatan rak'ataini lillahi ta 'ala.


Ada kebiasaan di sebuah kampung tertentu, bila acara pemakaman telah usai, di samping ada pengumuman Tahlil untuk setiap malamnya, ada juga pengumuman khusus bagi keluarga, yakni rembukan keluarga untuk bersama-sama mengerjakan shalat sunnah muthlak yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit yang telah meninggal. Jumlah rakaatnya tidak dibatasi. Yang mampu 2 rakaat silakan 2 rakaat dan yang mampu 4 rakaat silakan 4. Hal ini berdasar kepada:

ولا تصح الصلوات بتلك النيات التي استحسنها الصوفية من غير أن يرد لها اصل فى السنة . نعم ان اطلق الصلاة ثم دعا بعدها بما يتضمن نحو استعاذة او استخارة مطلقة لم يكن بذالك بأس. اما حديث صلاة الهدية الذي ذكر فى الميهي فلا يعرف صحة رواية

Tidak sah shalat dengan niat seperti yang dianggap baik kalangan sufi tanpa dasar hadits sama sekali. Jika melakukan shalat muthlak dan berdoa sesudahnya dengan sesuatu yang mengandung semisal isti'adzah atau istikharah maka shalat tersebut sah-sah saja. Mengenai hadits tetang shalat hadiah seperti termaktub di dalam kitab al Mauhibah, hal itu tidak diketahui kesahihan perawinya. (lihat Tuhfat al-Muhtaj, Juz II, Bab Shalat Isyraq)


Sumber:

Buku Tradisi Orang-Orang Nu, Penulis H. Munawir Abdul Fattah, Penerbit Pustaka Pesantren, halaman. 175-176.

------------------------------------------
MASAIL DINIYAH
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-6 Di Cirebon Pada Tanggal 12 Rabiul Tsani 1350 H / 27 Agustus 1931 M.

108. Soal : Bagaimana hukumnya shalat hadiah yang diselenggarakan oleh keluarga yang pada malam pertama dengan mengundang keluarga dan tetangganya, sesudah shalat kemudian dihidangkan makanan dan kemudian bubaran.

Jawab : Bila shalat itu shalat sunat mutlaqah dan pahalanya dihadiahkan kepada mayit, maka hukumnya tidak mengapa (boleh). Menurut suatu pendapat bahwa pahala tersebut dapat sampai dan manfaat kepada mayit. Bila shalat tersebut diniatkan hadiah kepada mayat maka shalat tersebut tidak sah dan hukumnya haram, karena mengerjakan sesuatu ibadah yang tidak ada dasarnya (fasidah).
Keterangan : Dalam Kitab Tukhfah Mukhtaj Juz II.


Note :

Ditulis dan discan ulang oleh Anwar Baru Belajar sesuai dengan apa yang termaktub di dalam buku tersebut.
Sumber : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/12/mengucapkan-ushally-sunnatan-hadiyatan.html

Info Dauroh Medan




Tema Dauroh “Mengkaji Keindahan Islam Sebagai Solusi Problematika Umat” bersama Ustadz Dzulqornain M. Sunusi

Waktu:
Tanggal 24-26 Syawal 1432 H/ 23-25 September 2011

Jum?at 24 Syawal 1432 H/ 23 September 2011
Sabtu 24 Syawal 1432 H/ 24 September 2011
Minggu 24 Syawal 1432 H/ 25 September 2011
Mesjid Muttaqin
Pukul 07.00-09.00 WIB
Alamat Km 10 Asr A.Hamid Jl Binjai
Mesjid Ainul Hakim
Pukul 13.30 ? 15.30 WIB
Alamat Jl Pembangunan Km 12 Sp Kompos Jl Binjai
Mushola An Nur
Pukul 18.30 ? selesai
Alamat Kompleks Palm Kencana Jl Binjai Km 12
Mesjid Al Jihad
Pukul 05.00 – 16.00 WIB
Alamat Jl. Abdullah Lubis Medan
Mesjid Musabbihin
Pukul 18.30 ?selesai
Alamat Komp Taman Setia Budi Indah (Tasbih) Jl Setia Budi Medan
Mesjid Al Jihad
Pukul 05.00 – 16.00 WIB
Alamat Jl. Abdullah Lubis Medan
Mesjid Al Falah
Pukul 18.30 ?selesai
Alamat Jl Al Falah Medan

Peserta :
Ikhwan/ Akhwat/ Umum

Denah Lokasi Masjid.
Bagian Informasi:

Abu Aiman (0813 7528 0776)

Abdullah Ismet (0812 654 634 82)
Ahmad (08136 116 0503)
Abdurrahman (0813 6222 2466)
Denah Lokasi

Gambar. Denah Lokasi Masjid Al Jihad – Jln. Abdullah Lubis (klik gambar untuk memperbesar)

Gambar. Denah Lokasi Masjid Mushabihin – Komplek Perum Setia Budi 1 (klik gambar untuk memperbesar)

Poster Dauroh, silahkan download ini

Selama dauroh berlangsung, Antum dapat mengikutinya secara online –

alamat Google Maps http://maps.google.co.id/maps?q=jln+Iskandar+muda+medan&oe=utf-8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&um=1&ie=UTF-8&hq=&hnear=0x303131d5460edcff:0xf437cfd6a49b2e4c,Jalan+Iskandar+Muda,+Medan&gl=id&ei=iIN6TtKwBovYiAKzg42uDw&sa=X&oi=geocode_result&ct=title&resnum=1&ved=0CBoQ8gEwAA

sumber :

http://aasiraj.wordpress.com/

Membongkar Kebohongan Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”

on Senin, 19 September 2011

Sekedar pemberitahuan ! Sebelum masuk kepada pembahasan yang diulas oleh Ust. Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi;

Telah terbit buku bagian pertama, sebagai jawaban ilmiah terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya ‘Syaikh’ Idahram yang berjudul, “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan; Bantahan Ilmiah Terhadap Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi“ , Penulis: Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah. Diterbitkan oleh TooBAGUS Publishing Bandung, cetakan pertama pada bulan Sya’ban 1432 H / Juli 2011 M.



Sebaiknya anda juga jangan lewatkan membaca ini;

Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” Mengusung Paham Rafidhah (Syi’ah Iran)



-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Telah sampai kepada kami beberapa usulan pembaca agar kami mengkritik sebuah buku yang beredar akhir-akhir ini yang dipublikasikan secara gencar dan mendapatkan sanjungan serta kata pengantar dari para tokoh. Oleh karenanya, untuk menunaikan kewajiban kami dalam menasihati umat, kami ingin memberikan studi kritis terhadap buku ini, sekalipun secara global saja sebab tidak mungkin kita mengomentari seluruh isi buku rang penuh dengan syubhat tersebut dalam majalah kita yang terbatas ini. Semoga Alloh menampakkan kebenaran bagi kita dan melapangkan hati kita untuk menerimanya.
JUDUL BUKU DAN PENULISNYA
Judul buku ini adalah Sejarah Berdarah Sekfe Salafi Wahabi, ditulis oleh Syaikh Idahram, penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, cetakan pertama, 2011. Buku ini mendapatkan rekomendasi tiga tokoh agama yang populer namanva yaitu KH. Dr. Said Agil Siraj, KH. Dr. Ma’ruf Amin, dan Muhammad Arifin Ilham.
AQIDAH WAHABI ADALAH TAJSIM?
Pada hlm. 234 penulis mengatakan:
Akidah Salafi Wahabi adalah aqidah Tajsim dan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) yang sama persis dengan akidah orang-orang Yahudi. Dalil-dalil mereka begitu rapuhnya, hanya mengandalkan hadits-hadits ahad dalam hal akidah.
Jawaban:
Ini adalah tuduhan dusta, sebab aqidah mereka dalam asrna’ wa shifat sangat jelas mengimani nama dan sifat Alloh yang telah disebutkan al-Qur’an dan hadits yang shohih tanpa tahrif (pengubahan), ta’thil (pengingkaran), takyif (menanyakan hal/kaifiat), maupun tamtsil (penyerupaan).[1] Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Alloh:
“Tidak ada yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. asy-Syuro [42]: 11)
Inilah aqidah ulama-ulama salaf, di antaranya al-Imam asy-Syafi’i, beliau pernah berkata:
“Kita menetapkan sifat-sifat ini yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan kita juga meniadakan penyerupaan sebagaimana Alloh meniadakan penyerupaun tersebut dari diri Nya dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.’ (QS. Asy-Syuro [42 : 11).[2]
Namun, jangan merasa aneh dengan tuduhan ini, karena demikianlah perilaku ahli ahwa’ semenjak dulu. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata, “Seluruh Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengartikannya secara zhohirnya. Akan tetapi, mereka tidak rnenggambarkan bagaimananya/bentuknya sifat¬sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khowarij mengingkari sifat-sifat Alloh dan tidak mengartikannya secara zhohirnya. Lucunya, mereka menyangka bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Alloh dengan makhluk).”[3]
Semoga Alloh merahmati al-Imam Abu Hatim ar-Rozi yang telah mengatakan, “Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari Ahli Sunnah dengan Musyabbihah.”[4]
lshaq bin Rohawaih mengatakan, “Tanda Jahm dan pengikutnya adalah menuduh Ahli Sunnah dengan penuh kebohongan dengan gelar Musyabbihah padahal merekalah sebenarnya Mu’aththilah (menidakan/mengingkari sifat bagi Alloh).”[5]
PEMBAGIAN TAUHID BID’AH?
Pada him. 236 penulis mengatakan:
Pembagian tauhid kepada tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah diciptakan oleh Ibnu Taimiyyah al-Harroni (w. 728 H) setelah 8 abad berlalu dari masa Rasulullah. Pernyataan yang seperti ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’i tabi’in maupun ulama-ulama salaf terdahulu, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, bahkan tidak terdapat juga dalam karya murid-murid Imam Ahmad yang terkenal seperti Ibnul Jauzi dan al-Hafizh Ibnu Katsir. Demikianlah Salafi Wahabi mengklaim selalu mengikuti salaf shalih tetapi kenyataannya tidak ada seorangpun dari Salaf Shalih yang membagi tauhid kepada pembagian seperti ini. Lagi-lagi, Salafi Wahabi melempar Al-Qur’an, Sunnah dan Salaf Shalih ke tong sampah.
Jawaban:
Pembagian para ulama bahwa tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ wa Shifat adalah berdasarkan penelitian yang saksama terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits Nabi Pembagian ini bukanlah perkara baru (baca: bid’ah)[6], tetapi pembagian ini berdasarkan penelitian terhadap dalil. Hal ini persis dengan perbuatan para ulama ahli Bahasa yang membagi kalimat menjadi tiga: isim, fill, dan huruf.[7]
Bahkan, banyak sekali ayat-ayat yang meng¬gabung tiga macam tauhid ini bagi prang yang mau mencermatinya, seperti firman Alloh:
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam [79]: 65)
Firman-Nya “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya” menunjukkan tauhid rububiyyah. “Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya” menunjukkan tauhid uluhiyyah. “Apakah kamu mengetahui sesuatu yang serupa denganNya” menunjukkan tauhid asma’ wa shifat.[8]
Lebih dari itu -jika kita jeli- surah pertama dalam al-Qur’an (al-Fatihah) mengandung tiga jenis tauhid ini, juga akhir surat dalam al-Qur’an (an-Nas). Seakan-akan hal itu mengisyaratkan kepada kita bahwa kandungan al-Qur’an adalah tiga jenis tauhid ini.[9] Syaikh Hammad al-Anshori berkata, “Alloh membuka kitab-Nya dengan Surah aI-Fatihah yang berisi tentang pentingnya tauhid dan menutup kitab-Nya dengan Surah an-Nas yang berisi tentang pentingnya tauhid. Hikmahnya adalah wahai sekalian manusia sebagaimana kalian hidup di atas tauhid maka wajib bagi kalian mati di atas tauhid.”[10]
Demikian juga, banyak ucapan para ulama salaf yang menunjukkan pembagian ini, seandainya kami menukilnya niscaya tidak akan termuat dalam majalah ini. Dalam kitabnya al-Mukhtashorul Mufid fi’ Bayani Dalail Aqsami Tauhid, Syaikh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad menukil ucapan-ucapan ulama salaf yang menetapkan klasifikasi tauhid menjadi tiga ini, seperti al-Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Ibnu Mandah (182 H), Ibnu Jarir (310 H), ath-Thohawi (w. 321 H), Ibnu Hibban (354 H), Ibnu Baththoh (387 H), Ibnu Khuzaimah (395 H), ath-Thurtusi (520 H), al-Qurthubi (671 H). Lantas, akankah setelah itu kita percaya dengan ucapan orang yang mengatakan bahwa klasifikasi ini baru dimunculkan oleh Ibnu Taimiyyah pada abad kedelapan Hijriah seperti pernyataan penulis?! Pikirkanlah wahai orang yang berakal!!!
KAKAK SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Pada hlm. 34 penulis mengatakan:
Sebaliknya, karena keyakinan menyimpangnya itu, kakaknya yang bersama Sulaiman ibnu Abdil Wahhab mengkritik fahamnya yang nyeleneh dengan begitu pedas, melalui dua bukunya, ash-Shawaiq al-Ilahiyyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahhabiyah dan kitab Fashlu al-Khitab fi ar-Radi ‘ala Muhammad bin Abdil Wahhab. Dua bukunya itu dirasa penting untuk di tulis, melihat adiknya yang sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam dan akidah umat secara umum.
Jawaban:
Benar, kami tidak mengingkari bahwa Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, saudara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab termasuk orang yang menentang dakwah beliau. Namun, ada dua poin yang perlu diperhatikan bersama untuk menanggapi hal ini:
Pertama: Antara Nasab dan Dakwah yang Benar
Kita harus ingat bahwa adanya beberapa kerabat atau keluarga yang menentang dakwah tauhid bukanlah suatu alasan batilnya dakwah yang haq. Tidakkah kita ingat bahwa para nabi, para sahabat, para ahli tauhid, dan sebagainya, ada saja sebagian dari keluarga mereka baik bapak, anak, saudara, atau lainnya yang memusuhi dakwah mereka?! Kisah Nabi Nuh dengan anak dan istrinya, Nabi Ibrahim dan ayahnya, Nabi Muhammad dan pamannya merupakan kisah yang populer di kalangan masyarakat. Apakah semua itu menghalangi kebenaran dakwah tauhid, wahai hamba Alloh?! Sungguh benar sabda Nabi :
“Barang siapa amalnya lambat, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya.”[11]
Kedua: Kembalinya Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab
Mayoritas ulama[12] mengatakan bahwa Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah bertaubat dan menerima dakwah tauhid, sebagaimana disebutkan Ibnu Ghonnam[13], Ibnu Bisyr[14], Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’ad as-Syuwa’ir[15], dan sebagainya. Apakah hal ini diketahui oleh musuh-musuh dakwah?! Ataukah kebencian telah mengunci hati mereka?! Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Syaikh Mas’ud an-Nadwi, “Termasuk orang yang menentang dakwah beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahhab (wafat 1208 H) yang menjadi qadhi di Huraimila’ sebagai pengganti ayahnya. Dia menulis beberapa tulisan berisi bantahan kepada saudaranya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang dipenuhi dengan kebohongan. Dan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ghonnam bahwa dia menyelisihi saudaranya hanya karena dengki dan cemburu saja. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menulis bantahan terhadap tulisan-tulisannya, tetapi pada akhirnya Alloh memberinya hidayah, (sehingga dia) bertaubat dan menemui saudaranya di Dar’iyyah pada tahun 1190 H yang disambut baik dan dimuliakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada buku Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang tercetak dengan judul ash-Showa’iq IIahiyyah fi ar-,Roddi ‘ala Wahhabiyyah. Musuh-musuh tauhid sangat gembira dengan buku ini, namun mereka sangat malu untuk menyebut taubatnya Sulaiman.”[16]
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB GEMAR MEMBACA KITAB NABI PALSU?
Pada him. 34 penulis mengatakan:
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga gemar membaca berita dan kisah-kisah para pengaku kenabian seperti Musailamah al-Kadzdzab, Sajah, Aswad al’Unsi dan Thulaihah al-Asadi.
Jawaban:
Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata membantah tuduhan ini: “lni juga termasuk kebohongan dan kedustaan. Yang benar, beliau gemar membaca kitab-kitab tafsir dan hadits sebagaimana beliau katakan sendiri dalam sebagian jawabannya, ‘Dalam memahami Kitabulloh, kita dibantu dengan membaca kitab-kitab tafsir populer yang banyak beredar, yang paling bagus menurut kami adalah tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thobari dan ringkasannya karya Ibnu Katsir asy-Syafi’i, demikian pula al-Baidhowi, aI-Baghowi, Al-Khozin, al-Jalalain, dan sebagainya. Adapun tentang hadits, kita dibantu dengan membaca syarah-syarah hadits seperti syarah al-Qostholani dan al-Asqolani terhadap Shohih al-Bukhori, an-Nawawi terhadap (Shohih) Muslim, al-Munawi terhadap al-jami’ ash-Shoghir, dan kitab-kitab hadits lainnya, khususnya kutub sittah (enam kitab induk hadits) beserta syarahnya, kita juga gemar menelaah seluruh kitab dalam berbagai bidang, ushul dan kaidah, siroh, shorof, nahwu, dan semua ilmu umat’.”[17]
PEMBUNUHAN DAN PENGKAFIRAN
Pada hlm. 61-138 penulis menguraikan panjang lebar bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melakukan pembunuhan dan pengkafiran terhadap kaum muslimin, termasuk ulama. Inilah yang menjadi inti buku tersebut.
Jawaban:
Demikian penulis artikel memuntahkan isi hatinya tanpa kendali!! Aduhai alangkah murahnya dia mengobral kebohongan dan melempar tuduhan!! Tidakkah dia sedikit takut akan adzab dan mengingat akibat para pendusta yang akan memikul dosa?! Tidakkah dia menyadari bahwa dusta adalah ciri utama orang-orang yang hina?!!
Tuduhan yang satu ini begitu laris-manis tersebar semenjak dahulu hingga kini, padahal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri telah menepis tuduhan ini dalam banyak kesempatan. Terlalu panjang kalau saya nukilkan seluruhnya,[18] maka kita cukupkan di sini sebagian saja:
Dalam suratnya kepada penduduk Qoshim, beliau memberikan isyarat terhadap tuduhan musuh bebuyutannya (Ibnu Suhaim), dan berlepas diri dari tuduhan keji yang dilontarkan kepada beliau. Beliau berkata, “Alloh mengetahui bahwa orang tersebut telah menuduhku yang bukan-bukan, bahkan tidak pernah terbetik dalam benakku, di antaranya dia mengatakan bahwasanya aku mengatakan, ‘Manusia sejak 600 tahun silam tidak dalam keislaman, aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada orang-orang sholih, aku mengkafirkan al-Bushiri, aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Alloh….’ Jawabanku terhadap tuduhan ini, ‘Maha Suci Engkau ya Robb kami, sesungguhnya ini kedu¬staan yang amat besar.’”[19]
Demikian juga dalam suratnya kepada Syaikh Abdurrohman as-Suwaidi -salah seorang ulama Irak- mengatakan bahwa semua tuduhan tersebut adalah makar para musuh yang ingin menghalangi dakwah tauhid. Beliau berkata, “Mereka mengerahkan Bala tentaranya yang berkuda dan berjalan kaki untuk memusuhi kami, di antaranya dengan menyebarkan kebohongan yang seharusnya orang berakaI pun malu untuk menceritakannya, apalagi menyebarkannya, salah satunya adalah apa yang Anda sebutkan, yaitu bahwa saya mengkafirkan seluruh manusia kecuali yang mengikuti saya, dan saya menganggap bahwa pernikahan mereka tidak sah. Aduhai, bagaimana bisa haI ini diterima oleh seorang yang berakal sehat? Adakah seorang muslim, kafir, sadar maupun gila sekalipun yang berucap seperti itu?!”[20]
Syaikh Abdulloh bin Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan di atas, “Adapun tuduhan yang didustakan kepada kami dengan tujuan untuk menutupi kebenaran dan menipu manusia bahwa kami mengkafirkan manusia secara umum, manusia yang semasa dengan kami dan orang-orang yang hidup setelah tahun enam ratusan kecuali yang sepaham dengan kami. Berekor dari itu, bahwa kami tidak menerima bai’at seorang kecuali setelah dia mengakui bahwa dirinya dahulu adalah musyrik, demikian pula kedua orang tuanya mati dalam keadaan syirik kepada Alloh … semua ini hanyalah khurofat yang jawaban kami seperti biasanya, ‘Maha Suci Engkau ya Alloh, ini adalah kebohongan yang nyata.’ Barang siapa menceritakan dari kami seperti itu atau menisbatkan kepada kami maka dia telah berdusta dan berbohong tentang kami. Barang siapa menyaksikan keadaan kami dan menghadiri majelis ilmu kami serta bergaul dengan kami, niscaya dia akan mengetahui secara pasti bahwa semua itu adalah tuduhan palsu yang dicetuskan oleh musuh-musuh agama dan saudara-saudara setan untuk melarikan manusia dari ketundukan dan memurnikan tauhid hanya kepada Alloh saja dengan ibadah dan meninggalkan seluruh jenis kesyirikan.”[21]
Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata, “Sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab meniti jalan yang ditempuh oleh Nabi para sahabat, dan para imam pendahulu. Beliau tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan Allah dan Rosul-Nya dan disepakati kekufurannya oleh umat. Beliau mencintai seluruh ahli Islam dan ulama mereka. Beliau beriman dengan setiap kandungan al-Qur’an dan hadits shohih. Beliau juga melarang keras dari menumpahkan darah kaum muslimin, merampas harta dan kehormatan mereka. Barang siapa menisbatkan kepada beliau hal yang berseberangan dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah dari kalangan salaf umat ini maka dia telah dusta serta berkata tanpa dasar ilmu.”[22]
BEKERJA SAMA DENGAN INGGRIS MERONGRONG KEKHOLIFAHAN TURKI UTSMANI
Pada hlm. 120 penulis membuat judul “Wahabi bekerja sama dengan inggris merongrong kekholifahan Turki Utsmani”.
Jawaban:
Demikianlah, mereka tidak memiliki modal dalam dialog ilmiah kecuali hanya tuduhan dan ke-dustaan semata. Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tatkala mengatakan; “Semua bentuk kesyirikan dan beragam corak kebid’ahan dibangun di atas kebohongan dan tuduhan dusta. Oleh karenanya, setiap prang yang semakin jauh dari tauhid dan sunnah, maka dia akan lehih dekat kepada kesyirikan, kebid’ahan, dan kedustaan.”[23] Dan alangkah benarnya ucapan al-Hafizh Ibnul Qoyyim
Janganlah engkau takut akan tipu daya musuh
Karena senjata mereka hanyalah kedustaan[24]
Beberapa sosok setan berwujud manusia dari orang-orang Eropa berpikir tentang akibat yang akan menimpa mereka jika dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung pemerintahan Su’ud (Saud) pertama memperluas pengaruhnya. Mereka melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah Su’ud akan mengancam kepentingan mereka di kawasan timur secara umum.
Oleh karma itu, tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan pemerintahan ini. Mereka pun menempuh berbagai daya dan upaya di dalam menghancurkan dakwah salafiyyah ini, di anta-ranya adalah:
Pertama: Penebaran opini publik di tengah negeri Islam melawan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka bangkitlah para penganut bid’ah dan khurofat memerangi dakwah Syaikh. Mereka adalah golongan mayoritas di saat itu, yang paham quburiyyun, khurofiyyun, bid’ah, dan syirik telah mendarah daging di dalarn hati mereka, bahkan parahnya kesultanan Ustmaniyyah generasi akhir adalah termasuk pemerintahan yang mendukung kesyirikan dan kebid’ahan ini. Ini semua terjadi setelah Inggris dan Francis menyebarkan fatwa yang mereka ambil dari ulama su’ (jahat) yang memfatwakan bahwa apa yang didakwahkan oleh Syaikh al-Imam adalah rusak.[25]
Kedua: Mereka menebarkan fitnah antara gerakan Syaikh al-Imam dengan pemimpin kesul-tanan Utsmaniyyah. Orang-orang Inggris dan Francis menebarkan racun ke dalam pikiran Sultan Mahmud II, bahwa gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bertujuan untuk memerdekakan jazirah Arab dan memisahkan diri dari kesultanan. Sultan pun merespons dan herupaya memberangus gerakan Syaikh, padahal seharusnya beliau meragukan nasihat dari kaum kuffar ini, lalu meneliti dan melakukan investigasi terhadap berita ini.[26]
Sesungguhnya Inggris dan Francis mulai dari awal telah membenci gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, terlebih setelah pemerintah Alu (KeIuarga) Su’ud beserta orang-orang Qowashim mampu melakukan serangan telak terhadap Armada Inggris pada tahun 1860 M sehingga perairan Teluk berada di bawah kekuasaannya.[27] Sesungguhnya asas-asas Islam yang murni menjadi fondasi dasar pemerintahan Su’ud pertama, dan tujuan utama didirikannya negara ini adalah untuk melawan kejahatan orang-orang asing di kawasan itu.[28]
Sungguh sangat “jauh panggang dari api” apabila dikatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab adalah dakwah boneka atau antek-antek Inggris, padahal dengan menyebarnya dakwah yang diberkahi ini ke pelosok dunia lain, melahirkan para pejuang-pejuang Islam. Di India, Syaikh Ahmad Irfan dan para pengikutnya adalah gerakan yang pertama kali membongkar kebobrokan Mirza GhuIam Ahmad al-Qodiyani (pendiri gerakan Ahmadiyah) yang semua orang tahu bahwa Qodiyaniyah ini adalah kepanjangan tangan dari kolonial Inggris. Mereka juga memekikkan jihad memerangi kolonial Inggris saat itu di negeri mereka.[29] Di Indonesia, tercatat ada Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Nan Gapuk, dan selainnya yang memerangi bid’ah, khurofat, dan maksiat kaum adat sehingga meletuslah Perang Padri, dan mereka semua ini adalah para pejuang Islam yang memerangi kolonialisme Belanda.[30] Belum lagi di Mesir, Sudan, Afrika, dan belahan negeri lainnya, yang mereka semua adalah para pejuang Islam yang membenci kolonialisme kaum kuffar Eropa.”[31]
CIRI KHAS WAHABI CUKUR PLONTOS?
Pada hlm. 139-180 penulis membawakan judul hadits-hadits Rosululloh tentang salafy wahabi, di antaranya pada hlm. 164 penulis mengatakan ciri¬ciri mereka adalah cukur plontos; sehingga pada him. 167 penulis mengatakan:
Ini adalah teks hadits yang sangat jelas tertuju kepada faham Muhammad bin Abdul Wahhab. Semasa hidupnya dahulu, dia telah memerintahkan setiap pengikutnya untuk mencukur habis rambut kepalanya sebelum mengikuti fahamnya.
Jawaban:
Tuduhan ini sangat mentah, tujuan di balik itu sangat jelas, yaitu melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Aduhai, alangkah beraninya penulis dalam memanipulasi hadits Rosululloh dan menafsirkannya sesuai dengan selera hawa nafsunya semata!! Seperti inikah cara Anda dalam beragumentasi wahai hamba Alloh?!!
Syaikh Abdulloh bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan orang yang tidak mencukur rambut kepalanya, “Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan tentang kami. Seorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini, sebab kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasikan kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang ma’lum bi dhoruroh (diketahui oleh semua). Jenis-jenis kekufuran baik berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk di antaranya (kekufuran atau kemurtadan), bahkan kami pun tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan.”[32]
NEJED, TEMPAT KELUARNYA TANDUK SETAN
Pada hlm. 151-152 penulis membawakan hadits bahwa sumber fitnah berasal dari Nejed, dan dari Nejed muncul dua tanduk setan, sehingga pada hlm. 156 penulis menukil ucapan Sayyid Alwi al-Haddad bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dua tanduk setan itu tiada lain adalah Musailamah al-Kadzdzab dan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Jawaban: [33]
Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara penulis di atas bukanlah suatu hal yang baru, melainkan hanyalah daur ulang dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, dari orang-orang yang hatinya disesatkan Alloh. Semuanya berkoar bahwa maksud “Nejed” dalam hadits-hadits di atas adalah Hijaz dan maksud fitnah yang terjadi adalah dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!!!
Kebohongan ini sangat jelas sekali bagi orang yang dikaruniai hidayah ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari beberapa segi:
1. Hadits itu saling menafsirkan
Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafazh-lafazhnya, niscaya tidak samar lagi bagi dia penafsiran yang benar tentang makna Nejed dalam hadits ini. Dalam lafazh yang dikeluarkan al-Imam ath-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir: 12/384 no. 13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud dengan sanad hasan: Menceritakan kepada kami Ubaidulloh bin Abdillah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari lbnu Umar dengan lafazh:
“Ya Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, ya Alloh berkahilah kami dalam Yaman kami.” Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Dalam Irak kami?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”
Syaikh Hakim Muhammad Asyrof menulis buku khusus mengenai hadits ini berjudul Akmal al-Bayan fl Syarhi Hadits Najd Qornu Syaithon. Dalam kitab ini beliau mengumpulkan riwayat¬riwayat hadits ini dan menyebutkan ucapan para ulama ahli hadits, ahli Bahasa, dan ahli geografi, yang pada akhirnya beliau membuat kesimpulan bahwa maksud Nejed dalam hadits ini adalah Irak. Berikut kami nukilkan sebagian ucapannya, “Maksud dari hadits-hadits di muka bahwa negeri-negeri yang terletak di timur kota Madinah Munawwaroh[34] ; adalah sumber fitnah dan kerusakan, markas kekufuran dan penyelewengan, pusat kebid’ahan dan kesesatan. Lihatlah di peta Arab dengan cermat, niscaya akan jelas bagi Anda bahwa negara yang terletak di timur Madinah adalah Irak saja, tepatnya kota Kufah, Bashrah, dan Baghdad.”[35]
Dalam tempat lainnya beliau mengatakan, “Ucapan para pensyarah hadits, ahli Bahasa, dan pakar geografi dapat dikatakan satu kata bahwa Nejed bukanlah nama suatu kota tertentu, namun setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya maka ia disebut Nejed.”[36]
2. Sejarah dan fakta
Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi di atas bahwa Irak adalah sumber fitnah[37] baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, seperti keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, Perang jamaI, Penang Shiffin, fitnah Karbala, tragedi Tatar. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti Khowarij yang muncul di kota Haruro’ (kota dekat Kufah), Rofidhoh (hingga sekarang masih kuat), Mu’tazilah, jahmiyyah, dan Qodariyyah, awal munculnya mereka adalah di Irak sebagaimana dalam hadits pertama Shohih Muslim.
3. Antara kota dan penghuninya
Anggaplah seandainya “Nejed” yang dimaksud oleh hadits di atas adalah Nejed Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits tersebut hanya mengabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak memvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya fitnah di suatu tempat tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di tempat tersebut.
Demikianlah -wahai saudaraku seiman- keterangan para ulama ahli hadits tentang hadits ini, maka cukuplah mereka sebagai sumber tepercaya!
PENUTUP
Demikianlah sekelumit yang dapat kami bahas tentang buku ini. Sebenarnya masih sangat banyak tuduhan-tuduhan dusta dan penyimpangan yang ada dalam buku ini, namun semoga apa yang sudah kami paparkan dapat mewakili lainnya.[38] Kesimpulannya, buku ini harus diwaspadai oleh setiap orang dan sebagai gantinya hendaklah membaca buku-buku yang bermanfaat. Wallohu A’lam.
Penulis Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Sumber : Majalah Al-Furqon Edisi 12 Th. ke-10 Rojab 1432 H [Juni-Juli 2011]
———
Catatan kaki:
[1] Lihat Syarh Aqidah Imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hlm. 22-24, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menegaskan dalam aqidah beliau tersebut, “Saya tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat MakhlukNya karena tidak ada yang serupa denganNya.”
[2] Thobaqot Hanabilah Kar. Al-Qodhi Ibnu Abi Ya’la : 1/283-284, Siyar A’lam Nubala’ Kar. Adz-Dzahabi: 3/3293, Manaqib Aimmah Arba’ah kar. Ibnu Abdil Hadi hlm. 121, I’tiqad Imam Syafi’i kar. Al-Hakkari hlm 21.
[3] Mukhtashar Al-‘Uluw hal. 278-279
[4] Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnal Wal Jama’ah kar. Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam kar. Al-Harowi: 4/390
[5] Syarah ushul I’tiqad kar. Al-Lalikai: 937, Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah kar. Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi: 1/85
[6] Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad menulis sebuah kitab berjudul Al-Qaulus Sadid fir Roddi ‘ala Man Ankaro Taqsima Tauhid (Bantahan Bagus Terhadap Para Pengingkar Pembagian Tauhid) Dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan dalil-dalil dan ucapan-ucapan ulama salaf yang menegaskan adanya pembagian tauhid ini dan membantah sebagian kalangan yang mengatakan bahwa pembagian tauhid ini termasuk perkara bid’ah.
[7] Lihat At-Tahdzir min Mukhtashorot Ash-Shobuni fi Tafsir. Hlm 331 –Ar-Rudud- oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Adhwaul Bayan kar. Imam Asy-Syinqithi: 3/488-493.
[8] Lihat al-Mawahib ar-Rabbaniyyah min al-Ayat al-Qur’aniyyah kar. Syaikh Abdurrohman as-Sa’di him. 60.
[9] Min Kunuz al-Qur’an al-Karim kar. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad: 1/149
[10] AI-Majmu’ fi Tarjamah Muhaddits Hammad al-Anshari: 2/531
[11] HR. Muslim: 2699
[12] Saya katakan “mayoritas” karena sebagian ulama mengatakan bahwa Syaikh Sulaiman tetap dalam permusuhannya, di antaranya adalah Syaikh Abdulloh al-Bassam dalam Ulama Nejed: 1/305 dan sepertinya Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad dalam Da’awi al Munawi’in hlm. 41-42 cenderung menguatkan pendapat ini.
[13] Tarikh Nejed : 1/143
[14] Unwan Majd hlm. 65
[15] Dalam makalahnya “Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh Muftaro ‘Alaihi” dimuat dalam Majalah Buhuts Islamiyyah, edisi 60/Tahun 1421 H
[16] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum hlm. 48-50
[17] Al-Asinnah Al-Haddad hlm. 12-13
[18] Lihat Majmu’ah Muallafat Syaikh: 5/25, 48, 100, 189 dan 3/11. Lihat buku khusus masalah ini berjudul Manhaj Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab fi Takfir – kata pengantar Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql
[19] Majmu’ah Muallafat Syaikh : 5/11, 12
[20] Ibid. 5/36
[21] Al-Hadiyyah As-Saniyyah hlm. 40
[22] Al-Asinnah Al-Haddad fi ar-Raddi ‘ala Alwi Al-Haddad hlm. 56-57 secara ringkas
[23] Iqtidho Siroth Mustaqim : 2/281
[24] Al-Kafiyah Asy-Syafiyah no. 198
[25] Lihat ad-Daulah al-Utsmaniyyah kar. Dr Jamal Abdul Hadi hlm. 94 sebagaimana dalam ad-Daulah al-Utsmaniyyah Awamilin wa Asbabis Suquth kar. Dr. Ali Muhammad Ash-Sholabi (terj. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Khalifah Utsmaniyyah)
[26] Ibid. hlm. 95
[27] Ibid. hlm. 158
[28] Ibid. hlm. 156
[29] Lihat Al-A’lam Al-Arobi fi tarikh hadits dan Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi Alam Islami karya Dr. Shalih Al-‘Abud
[30] Lihat Pusaka Indonesia Riwayat Hidup Orang-orang Besar Tanah Air oleh Tamar Djaja cet. VI, 1965, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, hlm. 339 dst.
[31] Dinukil dari tulisan Al-Ustadz Abu Salma berjudul “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Mata Para Peneyesat Ummat” yang dimuat dalam Majalah Adz-Dzakhiirah Edisi 17, Dzulqa’dah 1426 H.
[32] Ad-Durar As-Saniyyah : 10/275-276 cet. kelima
[33] Disadru dari kitab Al-Iroq Fi Ahadits Wa Atsar Al-Fitan oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Al Salman cet. Maktabah Al-Furqon.
[34] “Ungkapan yang populer di kalangan ahli sejarah dan ahli hadits adalah Madinah Nabawiyyah. Adapun menyebutnya dengan Munawwaroh, maka saya belum mengetahuinya kecuali dalam kitab-kitab orang belakangan.” Demikian dikatakan Syaikh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid dalam Juz fi Ziyaroh Nisa’ Lil Qubur hlm. 5.
[35] Akmal Bayan hlm 16-17 tahqiq Abdul Qadir As-Sindi, cet. Pertama , Pakistan 1402 H, dari Da’awi al-Munawi’in hlm. 190-191
[36] Ibid. hlm. 21
[37] Oleh karenanya para ulama menjadikan hadit ini sebagai salah satu tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad –shallallohu ‘alaihi wa sallam-. Lihat Umdatul Qori kar. Al-‘Aini 24/200 dan Silsilah Ash-Shohihah : 5/655, Takhrij Hadits Fadhoil Syam kar. Al-Albani hlm. 26-27
[38] Bagi anda yang ingin mengetahui bantahan syubhat dan tuduhan secara lebih lengkap, silakan membaca kitab Da’awi al-Munawi’in ‘an Da’wati Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kar. Dr. Abdul Aziz Abdul Lathif dan buku kami Meluruskan Sejarah Wahhabi cet. Pustaka Al-Furqon.
-------------------------
resent by Anwar Baru Belajar


http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2011/08/membongkar-kebohongan-buku-sejarah.html

Kirim Pahala sangat dicela oleh Ibnu Atha'illah dalam Al Hikam

on Minggu, 18 September 2011


Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.

Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab
Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad.


Bagi seseorang yang beramal baik, maka pahalanya adalah untuk dirinya sendiri. Begitu juga bila ia beramal buruk, maka dosanya ditanggung oleh dirinya sendiri. Maka jangan pernah berharap atau menuntut untuk mendapatkan suatu pahala atas amal oleh orang lain, terlebih lagi berharap agar mendapat limpahan (transfer) dosa dari amal orang lain kepada diri kita, sebab itu adalah amal atau usaha orang lain, bukan amal usaha kita. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa kirim pahala bacaan Al Qur'an kepada orang lain, terlebih kepada yang sudah meninggal dunia, tidak akan sampai karena bukan amal usaha si mayit, tetapi amal usaha orang lain yang masih hidup. Keterangan tersebut didukung oleh hampir 20 ayat dalam al Qur'an dalam surah yang berbeda-beda. Keterangan selengkapnya baca di sini : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/search/label/Kirim%20Pahala

Ini adalah perkataan Ibnu Atha'illah dalam Al Hikam, Risalah 12. No. 122.

لا تطلب عواضا على عمل لست له فاعلا يكفي من الجزاء لك على العمل أن كان له قابلا

"Jangan menuntut pahala atas suatu amal yang pelakunya bukan dirimu sendiri. Cukup besar pahala Allah bagimu jika Dia meridhai amal tersebut."

Ditulis ulang oleh sahabatmu Anwar Baru Belajar.


sumber : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2011/08/kirim-pahala-sangat-dicela-oleh-ibnu.html

Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama [ NU ] Tentang Tahlilan, Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah


MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA

Keluarga Mayit Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah


Soal : Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziyah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala sedekah tersebut?



Jawab : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu.


Keterangan :


1. Dalam Kitab I’anah al- Thalibin:


وَ يُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسِ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قاَلَ كُنَّا نَعُدُّ الْإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ.


“Dan makruh [dibenci] hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja diundang untuk berta’ziyah dan menghidangkan makanan bagi mereka, sesuai dengan riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, yang mengemukakan: “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian ratapan (yang dilarang)”.


2. Dalam Kitab Al-Fatawa al-Kubra:

وفي الفتاوى الكبرى فى أوائل الجزء الثانى ما نصه (وَسُئِل) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.


“Imam Ibnu Hajar ditanya -semoga Allah mengembalikan barakahnya kepada kita-, bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya? Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh); kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit. Dalam melakukan prosesi tersebut ia harus bertujuan menangkal “ocehan” orang-orang bodoh, agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. terhadap seseorang yang batal (karena hadats) shalatnya untuk menutup hidung dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat. Dan tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah seperti kasus di atas. Sebab, tirkah yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, atau ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris)”.

------------------------------------------------------------------

Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166 Daar Ibn 'Ashooshoh Littibaa'ati wan Nasri wa at tauzdi'i, Beirut , Seperti terlampir di bawah ini :


وقد أرسل الامام الشافعي - رضي الله عنه - إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له قد مات بقوله: إني معزيك لا إني على ثقة * * من الخلود، ولكن سنة الدين فما المعزى بباق بعد ميته * * ولا المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية: هي الامر بالصبر، والحمل عليه بوعد الاجر، والتحذير من الوزر بالجزع، والدعاء للميت بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة، فيقال فيها: أعظم الله أجرك، وأحسن عزاءك، وغفر لميتك، وجبر معصيتك، أو أخلف عليك، أو نحو ذلك.وهذا في تعزية المسلم بالمسلم.

وأما تعزية المسلم بالكافر فلا يقال فيها: وغفر لميتك، لان الله لا يغفر الكفر.

وهي مستحبة قبل مضي ثلاثة أيام من الموت، وتكره بعد مضيها.ويسن أن يعم بها جميع أهل الميت من صغيروكبير، ورجل وامرأة، إلا شابة وأمرد حسنا، فلا يعزيهما إلا محارمهما، وزوجهما.ويكره ابتداء أجنبي لهما بالتعزية، بل الحرمة أقرب.ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام.وجواب منهم لذلك.

(وصورتهما).

ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل لو أراد رئيس الحكام - بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي - بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.

(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.اللهم أسألك الهداية للصواب.

نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرحك المنهاج): ويسن لجيران أهله - أي الميت - تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح.اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم
.
ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه.كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.

ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.

ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.

اه.

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشةوالجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.

اه.وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.

ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما.والله سبحانه وتعالى أعلم.

كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان - مفتي الشافعية بمكة المحمية - غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.

(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.نعم، يثاب والي الامر - ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده - على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.

قال في (رد المحتار تحت قول الدار المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (ص): اصنعوا لآل جعفر

طعاما

(ما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.

ولانه بر ومعروف، ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.

وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع.والله سبحانه وتعالى أعلم.كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة - كان الله لهما حامدا مصليا مسلما



Terjemahan kalimat yang berwarna hijau ditulis tebal di atas, di dalam Kitab I'anatut Thalibin :


1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid'ah Mungkar, yang bagi orang [ulil amri] yang melarangnya akan diberi pahala.


2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid'ah yang dibenci.


3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan bid'ah mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.


4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari'atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah bid'ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : "Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk Niyahah"


5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.

_______________________________________________
Sumber :

[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]

Hasil scan Kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166 Daar Ibn 'Ashooshoh Littibaa'ati wan Nasri wa at tauzdi'i, Beirut.



Ditulis Ulang dari buku tersebut di atas, oleh:

Anwar Baru Belajar
--------------------------------------------------------------------

Note:

Dalam Kamus Al Munawwir, yang diolah oleh Keluarga Pondok Pesantren "Al Munawwir" Krapyak Yogyakarta, Versi Arab-Indonesia, hal. 1204. Mengenai arti kata "Makruh";

كَِرهَ – كَرْهًا – وَكَرَاهَة ً. اَلْمَكْرُوْهُ.
Artinya : yang tak disenangi, dibenci.
------------------------------------------------------

Link yang terkait;

  • Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab

  • Tahlilan [Selaatan Kematian] Menurut Kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin [Salah Satu Kitab Utama NU]

http://fakta-faktual.blogspot.com/2011/08/keputusan-muktamar-nahdlatul-ulama-nu.html#more


Subscribe to Feed

online

Feedjit

Negara

free counters

Tamu

download tanya jawab

http://www.4shared.com/dir/14024044/2e30f136/Tanya-Jawab.html

Kalender Hijriyah

Asma Allah

Laman

Powered By Blogger

Clock

About Me

Jln T.Minyak Gang Amal No.23 Kel.Bukit Jengkol Kec.P.Susu Kab.Langkat 20858

Blog Archive